PERILAKU ETIKA DALAM BISNIS
PERILAKU ETIKA DALAM BISNIS
1. Lingkungan bisnis yang mempengaruhi
Perilaku Etika
Tujuan
dari sebuah bisnis kecil adalah untuk tumbuh dan menghasilkan uang.Untuk
melakukan itu, penting bahwa semua karyawan di papan dan bahwa kinerja mereka
dan perilaku berkontribusi pada kesuksesan perusahaan.Perilaku karyawan,
bagaimanapun, dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal di luar bisnis.Pemilik
usaha kecil perlu menyadari faktor-faktor dan untuk melihat perubahan perilaku
karyawan yang dapat sinyal masalah.
Budaya Organisasi
Keseluruhan budaya perusahaan dampak
bagaimana karyawan melakukan diri dengan rekan kerja, pelanggan dan pemasok.
Lebih dari sekedar lingkungan kerja, budaya organisasi mencakup sikap manajemen
terhadap karyawan, rencana pertumbuhan perusahaan dan otonomi / pemberdayaan
yang diberikan kepada karyawan. “Nada di atas” sering digunakan untuk
menggambarkan budaya organisasi perusahaan. Nada positif dapat membantu
karyawan menjadi lebih produktif dan bahagia. Sebuah nada negatif dapat
menyebabkan ketidakpuasan karyawan, absen dan bahkan pencurian atau vandalisme.
Ekonomi Lokal
Melihat
seorang karyawan dari pekerjaannya dipengaruhi oleh keadaan perekonomian
setempat. Jika pekerjaan yang banyak dan ekonomi booming, karyawan secara
keseluruhan lebih bahagia dan perilaku mereka dan kinerja cermin itu. Di sisi
lain, saat-saat yang sulit dan pengangguran yang tinggi, karyawan dapat menjadi
takut dan cemas tentang memegang pekerjaan mereka.Kecemasan ini mengarah pada
kinerja yang lebih rendah dan penyimpangan dalam penilaian. Dalam beberapa
karyawan, bagaimanapun, rasa takut kehilangan pekerjaan dapat menjadi faktor
pendorong untuk melakukan yang lebih baik.
Reputasi Perusahaan dalam Komunitas
Persepsi
karyawan tentang bagaimana perusahaan mereka dilihat oleh masyarakat lokal
dapat mempengaruhi perilaku. Jika seorang karyawan menyadari bahwa
perusahaannya dianggap curang atau murah, tindakannya mungkin juga seperti itu.
Ini adalah kasus hidup sampai harapan. Namun, jika perusahaan dipandang sebagai
pilar masyarakat dengan banyak goodwill, karyawan lebih cenderung untuk
menunjukkan perilaku serupa karena pelanggan dan pemasok berharap bahwa dari
mereka.Persaingan di IndustriTingkat daya saing dalam suatu industri dapat berdampak
etika dari kedua manajemen dan karyawan, terutama dalam situasi di mana
kompensasi didasarkan pada pendapatan. Dalam lingkungan yang sangat kompetitif,
perilaku etis terhadap pelanggan dan pemasok dapat menyelinap ke bawah sebagai
karyawan berebut untuk membawa lebih banyak pekerjaan. Dalam industri yang
stabil di mana menarik pelanggan baru tidak masalah, karyawan tidak termotivasi
untuk meletakkan etika internal mereka menyisihkan untuk mengejar uang.
2. Kesaling Tergantungan Adalah Bisnis
Dan Masyarakat
Alam telah
mengajarkan kebijaksanaan tentang betapa hubungan yang harmonis dan
kesalingtergantungan itu adalah amat penting. Bumi tempat kita berpijak, masih
setia bekerja sama dan berkolaborasi dalam tim dan secara tim dengan planet-planet
lain, namun penghuninya kebanyakan telah berjalan sendiri-sendiri. Manusia yang
konon khalifah di bumi, merasa sudah tidak membutuhkan manusia lainnya.
Bukanlah
kesalingtergantungan yang dibina, melainkan ketergantungan yang terus diusung.Kesalingtergantungan
bekerja didasarkan pada relasi kesetaraan, egalitarianisme. Manusia
bekerjasama, bergotong-royong dengan sesamanya memegang prinsip kesetaraan.
Tidak akan tercipta sebuah gotong-royong jika manusia terlalu percaya kepada
keunggulan diri dibanding yang lain, entah itu keunggulan ras, agama, suku,
ekonomi dsb. Wajah Indonesia yang carut marut dewasa ini adalah karena terlalu
membuncahnya subordinasi relasi manusia atas manusia lain. Negara telah
dikuasai oleh jenis manusia yang memiliki mentalitas pedagang. Pucuk kekuasaan
telah disulap menjadi lahan bisnis, dimana dalam dunia bisnis maka yang dikenal
adalah tuan dan budak, majikan dan buruh.
Dalam hal
ini, yang tercipta adalah iklim ketergantungan, bukan kesalingtergantungan. Di
negara lain, kelas proletar yang dahulu diperjuangkan, toh setelah meraih
kekuasaan, pada gilirannya ia menjelma menjadi kelas yang istimewa, yang rigid
terhadap kritik. Hukum diselewengkan, dan bui menjadi jawaban praktis bagi para
oposan. Proletar melakukan kesalahan yang sama dengan borjuis yang dilawannya
habis-habisan. Jika borjuis menggunakan sentimen agama untuk mengelabui rakyat
jelata, maka proletar menganggap agama sebagai candu rakyat. Yang satu
mengatasnamakan agama, yang lainnya mengatasnamakan rakyat miskin. Namun
keduanya memiliki tujuan yang sama: kekuasaan. Kekuasaan negara, dan juga agama
telah menjadi petualangan bisnis, dimana siapa saja yang berkuasa maka kekayaan
hendak menumpuk dalam istananya dengan benteng menjulang, sementara secuil saja
kekayaan yang dinikmati mereka yang bekerja keras.
Di abad yang lalu, orang-orang Eropa yang berasal dari Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis mengunjungi Asia termasuk negeri ini muasalnya bertujuan untuk berdagang dengan penduduk setempat.
Di abad yang lalu, orang-orang Eropa yang berasal dari Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis mengunjungi Asia termasuk negeri ini muasalnya bertujuan untuk berdagang dengan penduduk setempat.
Mereka
melakukan kerjasama bisnis dengan penduduk lokal dan beberapa elit penguasa.
Pada mulanya mereka menikmati peran sebagai partnerbisnis, lambat laun peran
ini dianggap tidak lagi menarik. Mereka pun berubah menjadi majikan, dan kelak
menjajah dan memperbudak bangsa ini hingga ratusan tahun untuk mempertahankan
posisi itu dan menciptakan ketergantungan penduduk lokal kepada mereka. Rupanya
peran yang belakangan lebih menarik dan lebih menantang. Perbudakan adalah
sesuatu yang tidak alami, menyalahi takdir sebagai manusia. Setiap manusia
berhak atas kebebasan. Namun pola perbudakan semacam itu kiranya tidak lekang
oleh zaman,. meski bentuknya diubah sedikit supaya lebih beradab. Perbudakan
dewasa ini lebih modern, kendati tetap ditempuh dengan cara-cara yang zalim.
Apalagi di Indonesia yang masyarakatnya kebanyakan beragama bukan karena
kesadaran melainkan telah ditentukan orangtua sejak lahir, maka agama lagi-lagi
merupakan alat yang nyaris selalu laris untuk memuluskan tujuan-tujuan tersebut.
Lembaga keagamaan dan negara berkonspirasi untuk memperbudak jiwa manusia. Di
negeri ini, berapa banyak fatwa mufti negara, undang-undang dan peraturan
daerah bernuansa agama yang tidak masuk akal yang menghendaki rakyat senantiasa
bergantung kepada mereka? Keadaan demikian menciptakan kericuhan di dalam
masyarakat akibat hiperregulasi, karena tingkat kepatuhan masyarakat menurun.
Keamanan menjadi barang yang mahal. Kepergian para investor karena merasa tidak
aman memperparah perekonomian Indonesia.
Dalam
keadaan collapse akhirnya kita memiliki ketergantungan yang tinggi kepada
negara luar. Kucuran dana negara asing kepada kita bukanlah sesuatu yang
gratis. No free lunch. Dana punia dan pinjaman mereka seraya mendesakkan
kepentingan dan agenda mereka, tidak bisa dipungkiri. Barangkali Paman Sam
dengan kapitalismenya, maka Arab Saudi yang setia dengan garis iman Wahhabi
tentunya akan mendesakkan agenda mereka kepada Indonesia. Pemikiran-pemikiran
sekuler Barat yang telah merasuki dunia Islam misalnya, dengan ideologi
kapitalisme yang mengurung sendi-sendi perekonomian umat Islam telah menjadikan
dunia Islam menjadi terpuruk dengan ketergantungan yang tinggi terhadap Barat.
Sebagai jalan keluar, sebagian orang sering mengalami eskapisme untuk memasuki
dunia “pasti” yang menentramkan hati.
Jalan yang
diambil adalah dengan penyerahan diri kepada sebuah “otoritas transedental”
(baca: otoritas mufti negara) yang menjanjikan kesenangan eskatologis. Sebagian
yang lain meresponnya dengan melakukan tindakan-tindakan anarkis dan
vigilantisme. Seperti pernah dituturkan Amrozi dalam Koran Tempo tahun 2003,
peledakan bom Bali adalah untuk menjaga kehidupan beragama. Pola relasi negara
kita dengan negara luar layak dibenahi. Bangsa kita harus memiliki keberanian
yang cukup untuk bisa pula mendesakkan cita-cita negara kita sesuai Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 kepada mereka. Bangsa kita harus memiliki nyali
yang cukup untuk menolak agenda mereka yang bisa merusak kemerdekaan yang telah
susah payah diraih.
Hubungan
luar negeri kita harus berubah dari ketergantungan, menjadi
kesalingtergantungan, sebagai bangsa-bangsa yang sejajar dan sederajat.
Kemerdekaan dan kebebasan saja belum cukup, namun saat ini penting kemerdekaan
untuk hidup merdeka, kebebasan untuk hidup bebas. Setiap orang warga negara
ini, bahkan warga seluruh dunia memiliki kebutuhan individu. Kebutuhan akan
makan, tempat tinggal yang nyaman, pekerjaan dsb sejatinya bukanlah kebutuhan
individu atau segelintir orang saja, melainkan seluruh orang yang hidup di
dunia ini membutuhkannya. Setiap orang tidak akan mampu mencukup kebutuhannya
sendiri tanpa semangat gotong-royong, kesalingtergantungan, kerjasama,
kolaborasi dengan orang lain.
3. Kepedulian pelaku bisnis terhadap
etika
Para pelaku bisnis diharapkan dapat mengaplikasikan etika bisnis dalam
menjalankan usahanya. Dengan adanya etika bisnis yang baik dari suatu usaha,
maka akan memberikan suatu nilai positif untuk perusahaannya. Hal ini sangatlah
penting demi meningkatkan ataupun melindungi reputasi perusahaan tersebut
sehingga bisnis yang dijalankan dapat berjalan dengan baik, bahkan dapat
meningkatkan cangkupan bisnis yang terkait. Dalam menciptakan etika bisnis, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah :
1. Pengendalian diri
2. Pengembangan tanggung jawab sosial
(social responsibility)
3. Mempertahankan jati diri dan tidak
mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
4. Menciptakan persaingan yang
sehat
5. Menerapkan konsep “pembangunan
berkelanjutan”
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece,
Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
7. Mampu menyatakan yang benar itu
benar
8. Menumbuhkan sikap saling percaya
antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
9. Konsekuen dan konsisten dengan
aturan main yang telah disepakati bersama
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan
rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
4. Perkembangan dalam etika bisnis
Berikut perkembangan etika bisnis
menurut Bertens (2000):
a. Situasi Dahulu
Pada awal sejarah filsafat, Plato,
Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya
mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana
kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
b. Masa Peralihan
Tahun 1960-an ditandai pemberontakan
terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di
ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini
memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan
menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business and Society.
Topik yang paling sering dibahas adalah corporate social responsibility.
c. Etika Bisnis Lahir di AS
Tahun 1970-an sejumlah filsuf mulai
terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis dan etika
bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang
meliputi dunia bisnis di AS.
d. Etika Bisnis Meluas ke Eropa
Tahun 1980-an di Eropa Barat, etika
bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat
forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis yang
disebut European Business Ethics Network (EBEN).
e. Etika Bisnis menjadi Fenomena
Global
Tahun 1990-an tidak terbatas lagi
pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh dunia. Telah didirikan
International Society for Business, Economics, and Ethics (ISBEE) pada 25-28
Juli 1996 di Tokyo.
Ada 3 jenis masalah yang dihadapi
dalam Etika yaitu
1. Sistematik
Masalah-masalah sistematik dalam
etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem ekonomi,
politik, hukum, dan sistem sosial lainnya dimana bisnis beroperasi.
2. Korporasi
Permasalahan korporasi dalam
perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan yang dalam perusahaan-perusahaan
tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan tentang moralitas aktivitas,
kebijakan, praktik dan struktur organisasional perusahaan individual sebagai
keseluruhan.
3. Individu
Permasalahan individual dalam etika
bisnis adalah pertanyaan yang muncul seputar individu tertentu dalam
perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan tentang moralitas keputusan,
tindakan dan karakter individual.
5. Etika bisnis dan Akuntan
Profesi
akuntan merupakan profesi yang dalam aktivitasnya tidak terpisahkan dengan
aktivitas bisnis, sehingga selain harus memahami dan menerapkan etika
profesionalnya, seorang akuntan harus memahami dan menerapkan etika bisnis.
Dalam menjalankan profesinya akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik
profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan
Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan
pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi
dan juga dengan masyarakat. Akuntan sebagai profesi memiliki kewajiban untuk
mengabaikan kepentingan pribadi dan mengikuti etika profesi yang telah
ditetapkan. Kewajiban akuntan sebagai profesional mempunyai tiga kewajiban
yaitu; kompetensi, objektif dan mengutamakan integritas.
Tanpa
etika di dalam bisnis, maka perdagangan tidak akan berfungsi dengan baik. Kita
harus mengakui bahwa akuntansi adalah bisnis, dan tanggung jawab utama dari
bisnis adalah memaksimalkan keuntungan atau nilai shareholder. Tetapi kalau hal
ini dilakukan tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat merugikan. Banyak
orang yang menjalankan bisnis tetapi tetap berpandangan bahwa, bisnis tidak
memerlukan etika.
Banyak
perusahaan yang melakukan kecurangan diantaranya adalah TYCO yang diketahui
melakukan manipulasi data keuangan (tidak mencantumkan penurunan aset),
disamping melakukan penyelundupan pajak. Global Crossing termasuk salah satu
perusahaan terbesar telekomunikasi di Amerika Serikat dinyatakan bangkrut
setelah melakukan sejumlah investasi penuh resiko. Enron yang hancur berkeping
terdapat beberapa skandal bisnis yang menimpa perusahaan-perusahaan besar di
Amerika Serikat. Worldcom juga merupakan salah satu perusahaan telekomunikasi
terbesar di Amerika Serikat melakukan manipulasi keuangan dengan menutupi
pengeluaran US$3.8 milyar untuk mengesankan pihaknya menuai keuntungan, padahal
kenyataannya rugi. Xerox Corp. diketahui memanipulasi laporan keuangan dengan
menerapkan standar akunting secara keliru sehingga pembukuan perusahaan
mencatat laba US $ 1.4 milyar selama 5 tahun. Dan masih banyak lagi.
Contoh
Kasus Sebagai Pelaku Bisnis
Pada tahun
1990 an, kasus yang masih mudah diingat yaitu Enron. Bahwa Enron adalah perusahaan
yang sangat bagus dan pada saat itu perusahaan dapat menikmati booming industri
energi dan saat itulah Enron sukses memasok enegrgi ke pangsa pasar yang
bergitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil
menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi. Dan
data yang ada dari skilus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup
menggiurkan. Seiring dengan booming indutri energi, akhirnya memosisikan
dirinya sebagai energy merchants dan bahkan Enron disebut sebagai ”spark spead”
Cerita pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang
ada dipasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya Enron meninggalkan
prestasi dan reputasinya baik tersebut, karena melakukan penipuan dan
penyesatan. Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, Enron kemudian
kolaps pada tahun 2001.
REFERENSI :
0 Response to "PERILAKU ETIKA DALAM BISNIS"
Posting Komentar