Persaingan Harga Produk Dalam Negeri Versus Harga Produk Luar Negeri dilihat dari tingginya biaya produksi
Nama : Yeniasari Rizkia Budi
Kelas : 1EB24
NPM : 27212802
TARIK ULUR DAGING SAPI IMPOR
ABSTRAK
Manusia di seluruh dunia pasti
membutuhkan asupan makanan yang cukup seperti empat sehat lima sempurna, dan
salah satunya adalah daging. Protein keluarga yang semula ditopang tahu, tempe,
dan ikan bergeser menuju daging sapi. Apalagi, hal ini sering dicontohkan
pejabat saat acara resmi, pernikahan, atau peringatan hari besar. Seperti ada
yang kurang jika tiada menu daging sapi. Kini saatnya dipromosikan sumber
protein lokal seperti ikan budi daya atau tangkap, telur, dan ayam. Lonjakan
permintaan daging sapi akan ditekan. Angka kekurangan kalori protein semakin
kecil.
Tak banyak manusia yang dapat
menghindah untuk tidak memakan daging, walaupun itu hanya setahun sekali.
Karena daging juga merupakan kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh,
apalagi di era globalisasi ini telah banyak orang yang selalu mengkonsumsi
daging.
PENDAHULUAN
Perkembangan perekonomian indonesia
kini telah meluas, terutama masalah persaingan harga produk dalam negeri versus
harga produk luar negeri. Dengan melihat persaingan harga itu kita dapat
mengetahui kondisi perekonomian di negara ini.
Mungkin telah banyak barang-barang
yang masuk ke indonesia ini adalah hasil impor dari negara lain, hal ini
yangmenyebabkan persaingan yang tinggi dengan produk yang berasal dari dalam
negeri, mungkin salah satru penyebabnya adalah tingginya harga produk dalam
negeri yang menyebabkan produsen harus mengimpor segala kebutuhan perusahaan
dari luar negeri. Dari sini seharusnya pemerintah bisa memahami untuk menekan
tingkat harga produksi barang dalam negeri, agar saat penjualan harganya tidak
terlalu tinggi, sehingga dapat membuat masyarakat berpaling untuk memilih
barangdari dalam negeri. Dan pemerintah juga harus meyakinkan masyarakat
indonesia, bahwa produk dalam negeri tidak kalah bagus dengan produk dari luar
negeri.
LANDASAN TEORI
Impor adalah suatu kegiatan ekonomi
dalam hal membeli barang dan jasa yang berasal dari luar negeri. Dengan
seringnya sebuah negara melakukan impor dari negara lain maka semakin berkurangnya
keuangan suatu negara, dan dari itu semuamungkin negara dapat memiliki hutang
kepada negara lain yang cukup besar.
Banyak segala jenis barang yang di
impor dari negara lain, baik itu bahan makanan, barang-barang elektronik, dan
masih banyak sebagainya. Seperti daging sapi misalnya yang telah banyak impor
dari berbagai negara seperti, australia, jepang, arab, dan sebagainnya.
Seharusnya pemerintah dapat menekan kebutuhan impor dari luar dan lebih
mengutamakan apa yang dihasilkan dari dalam negeri.
PEMBAHASAN
Ada
indikasi kelangkaan dan lonjakan harga daging sapi direkayasa sekelompok
pengusaha untuk menaikkan kuota impor daging. Hal itu berdampak negatif pada
gairah peternak dalam negeri. Stok sapi nasional akan terancam. Pemerintah
perlu bertindak cepat dan tidak tunduk pada tekanan pengusaha nakal. Program
peningkatan produksi sapi dalam negeri mesti berlanjut.
Di Paguyuban Pedagang Sapi dan
Daging Segar Jatim menuntut tata niaga yang membatasi penjualan sapi ke luar
daerah dan menambah impor sapi bakalan. Bahkan, Komite Daging Sapi Jakarta Raya
menilai penetapan kuota impor daging sapi 2013 sebesar 80.000 ton dianggap
kurang. Mereka memohon kuota khusus impor melalui Gubernur DKI Jakarta ke Menko
Perekonomian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Pertanian.
Tarik-ulur seperti ini memang sering terjadi. Menko Perekonomian dan Menteri Perdagangan berwacana menambah impor sapi, namun secara tersirat Menteri Pertanian menolak. Tidakkah ini menjadi problem masa depan? Sistematiskah upaya pemerintah mengendalikan harga daging sapi?
Sebagian analis menyatakan di antara penyebab lonjakan harga ialah rumah potong hewan (RPH) dan usaha penggemukan (fatting) bersaing membeli sapi bakalan ke peternak. Demikian juga badan usaha milik negara (BUMN) bidang peternakan yang menjalankan program pengadaan sapi bakalan yang dananya baru cair semester kedua tahun 2012. Tentu ini bukan masalah mendasar. Maka, perlu dikaji akar masalah dan dicarikan solusinya.
Tarik-ulur seperti ini memang sering terjadi. Menko Perekonomian dan Menteri Perdagangan berwacana menambah impor sapi, namun secara tersirat Menteri Pertanian menolak. Tidakkah ini menjadi problem masa depan? Sistematiskah upaya pemerintah mengendalikan harga daging sapi?
Sebagian analis menyatakan di antara penyebab lonjakan harga ialah rumah potong hewan (RPH) dan usaha penggemukan (fatting) bersaing membeli sapi bakalan ke peternak. Demikian juga badan usaha milik negara (BUMN) bidang peternakan yang menjalankan program pengadaan sapi bakalan yang dananya baru cair semester kedua tahun 2012. Tentu ini bukan masalah mendasar. Maka, perlu dikaji akar masalah dan dicarikan solusinya.
Pengembangan sapi lokal dan
pembelaan peternak masih lemah. Seiring laju impor, pengembangan sapi lokal
oleh pemerintah, pengusaha nasional, dan masyarakat seolah berhenti. Sapi lokal,
yang kecil dan kurang cepat pertumbuhannya, tak diurus dan dikembangkan. Sapi
lokal termarjinalkan. Padahal sapi lokal seperti dari Bali hebat karena tahan
terhadap cuaca kering dan penyakit.
Hal itu dilengkapi dengan minimnya
pembelaan pada peternak. Pada 2010, harga mencapai 20.000 per kg sapi hidup,
peternak dibiarkan merugi. Kini, ketika harga ideal 30.000–32.000 per kg sapi
hidup, pemerintah bisa menghancurkan harapan peternak.
Semakin bergantungnya pada impor
pangan mestinya memberi pelajaran bahwa liberalisasi pertanian tidak perlu
dilanjutkan. Peran negara mengendalikan harga dan mendorong produksi dalam
negeri tidak terkebiri.
Selama ini, sistem logistik nasional (silognas) tidak efisien dan memicu harga daging sapi lokal lebih mahal dibanding impor. Biaya angkut dari sentra sapi di Jawa Timur ke Jabodetabek sangat tinggi. Padahal, Jabodetabek paling besar menyerap konsumsi daging sapi nasional. Ruas jalan sepanjang pantai utara (pantura) Jawa sering macet.
Selama ini, sistem logistik nasional (silognas) tidak efisien dan memicu harga daging sapi lokal lebih mahal dibanding impor. Biaya angkut dari sentra sapi di Jawa Timur ke Jabodetabek sangat tinggi. Padahal, Jabodetabek paling besar menyerap konsumsi daging sapi nasional. Ruas jalan sepanjang pantai utara (pantura) Jawa sering macet.
KESIMPULAN
Semula,
impor dilakukan untuk pasar spesifik, seperti hotel, restoran, dan industri
pengolahan. Faktanya, daging impor masuk pasar tradisional. Masyarakat yang
terbiasa berbelanja ke pasar swalayan menjumpai kenyataan daging impor lebih
murah dari daging lokal. Padahal kualitas dan cita rasanya tak lebih baik dari
daging sapi lokal.
Lebih dari itu, DKI Jakarta sangat bergantung pada daging impor. Sementara, pasokan dari sentra sapi, seperti Nusa Tenggara Barat dan Jatim, minim karena transportasinya mahal. Maka, usulan alokasi subsidi biaya transportasi dari sentra sapi ke Jakarta akan turut mengurai masalah ini.
Lonjakan harga daging sapi merugikan pedagang bakso, rendang, daging eceran, dan konsumen rumah tangga. Peternak pun tak menikmatinya. Stabilitas pasokan dan harga daging sapi mutlak dijaga. Dalam jangka pendek, spekulasi harga oleh pengusaha harus ditindak.
Dalam jangka panjang, kebergantungan pada daging sapi impor mutlak dikurangi. Penguatan pembibitan sapi dalam negeri mesti didorong. BUMN, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian perlu dikerahkan menjawab tantangan ini. Produksi sapi terintegrasi dengan sawit mesti dipercepat karena pakan di kebun sawit Sumatra melimpah.
Masalah kekurangan bakalan sapi perlu dicarikan solusi. Misalnya dengan melakukan IB serentak sapi betina produktif di Sumatra. Contoh, kelayakan investasi sapi di kebun sawit oleh BUMN akan diikuti swasta dan petani sawit.
Tugas pemerintah yang mendasar adalah memacu produksi sapi berbasis peternakan rakyat. Disparitas harga antara peternak dan konsumen dapat dikurangi dengan memperpendek rantai pasokan.
Harga pasar layak diketahui peternak secara transparan. Kebiasaan peternak menjual sapi berdasar perkiraan pedagang perlu diubah menurut berat sapi hidup. Timbangan ternak mestinya disediakan pemerintah di pasar hewan. Dengan begitu, akan ada kepastian harga bagi peternak dan pedagang akan terjadi.
Lebih dari itu, DKI Jakarta sangat bergantung pada daging impor. Sementara, pasokan dari sentra sapi, seperti Nusa Tenggara Barat dan Jatim, minim karena transportasinya mahal. Maka, usulan alokasi subsidi biaya transportasi dari sentra sapi ke Jakarta akan turut mengurai masalah ini.
Lonjakan harga daging sapi merugikan pedagang bakso, rendang, daging eceran, dan konsumen rumah tangga. Peternak pun tak menikmatinya. Stabilitas pasokan dan harga daging sapi mutlak dijaga. Dalam jangka pendek, spekulasi harga oleh pengusaha harus ditindak.
Dalam jangka panjang, kebergantungan pada daging sapi impor mutlak dikurangi. Penguatan pembibitan sapi dalam negeri mesti didorong. BUMN, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian perlu dikerahkan menjawab tantangan ini. Produksi sapi terintegrasi dengan sawit mesti dipercepat karena pakan di kebun sawit Sumatra melimpah.
Masalah kekurangan bakalan sapi perlu dicarikan solusi. Misalnya dengan melakukan IB serentak sapi betina produktif di Sumatra. Contoh, kelayakan investasi sapi di kebun sawit oleh BUMN akan diikuti swasta dan petani sawit.
Tugas pemerintah yang mendasar adalah memacu produksi sapi berbasis peternakan rakyat. Disparitas harga antara peternak dan konsumen dapat dikurangi dengan memperpendek rantai pasokan.
Harga pasar layak diketahui peternak secara transparan. Kebiasaan peternak menjual sapi berdasar perkiraan pedagang perlu diubah menurut berat sapi hidup. Timbangan ternak mestinya disediakan pemerintah di pasar hewan. Dengan begitu, akan ada kepastian harga bagi peternak dan pedagang akan terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
KORAN
JAKARTA/GANDJAR DEWA ART
0 Response to "Persaingan Harga Produk Dalam Negeri Versus Harga Produk Luar Negeri dilihat dari tingginya biaya produksi "
Posting Komentar